Kamis, 15 April 2010

Evasi Komunikasi Susno – Polri



Dalam ilmu komunikasi disebutkan bahwa ada banyak hambatan yang bisa merusak komunikasi, antara lain gangguan (noise), kepentingan (interest), motivasi terpendam (latent motivation), dan prasangka (prejudice). Hambatan komunikasi tersebut secara umum dibagi atas dua sifat, yakni objektif dan subjektif.

Butuh Waktu Adaptasi

Butuh Waktu Adaptasi

Niat baik tidak selamanya akan disambut dengan baik. Jangankan dari manusia, niat baik dari Tuhan pun banyak yang tidak diterima oleh sebagian umat manusia. Buktinya, ada nabi yang nyata-nyata utusan Tuhan di muka bumi bahkan dihina oleh segelintir orang dengan berbagai cara dan bentuk.

Maka kalau ada undang-undang yang telah ditetapkan pemerintah akhirnya ditolak oleh masyarakat, itu bukan lagi sesuatu yang mengejutkan, termasuk penolakan terhadap UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Mengapa terjadi penolakan terhadap seruan Tuhan, kehadiran nabi, penerapan undang-undang, dan sebagainya? Ada dua alasan mendasar. Pertama karena ketidaktahuan, dan kedua karena adanya perasaan terganggu kebebasan (termasuk berbagai macam kepentingan duniawi).

Penolakan terhadap UU BHP hanyalah salah satu contoh ketidaktahuan sebagian masyarakat kepada niat baik yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Banyak sekali keuntungan dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dengan penerapan UU BHP, terutama peningkatan kualitas pendidikan dan kualitas pelayanan pendidikan.

Sayangnya, sebagian anggota masyarakat tidak mengetahui dan tidak menyadari hal itu, apalagi sebagian perguruan tinggi negeri pun tampaknya seolah-olah melakukan komersialisasi dengan menetapkan tarif masuk dan biaya kuliah hingga ratusan juta rupiah per mahasiswa, terutama untuk program studi tertentu, misalnya kedokteran.

Ketidaktahuan masyarakat dan mahalnya biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi negeri yang membuat masyarakat merasa terbebani itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang merasa terganggu kebebasan dan kepentingannya untuk menolak UU BHP.

Gelombang protes terhadap penerapan UU BHP akhirnya memaksa Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU BHP pada 31 Maret 2010, padahal sudah begitu banyak waktu yang terbuang, serta pikiran dan biaya yang terkuras untuk merancang, membuat, membahas, memutuskan, dan mensosialisasikan UU BHP.

Apa boleh buat. Keputusan MK tidak mungkin lagi digugat. Kalau kemarin perguruan tinggi butuh waktu untuk beraptasi dengan UU BHP, kini mereka kembali butuh waktu untuk beraptasi dengan pembatalan UU BHP tersebut.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun butuh waktu untuk beradaptasi, bahkan merekalah yang paling membutuhkan banyak penyesuaian untuk menata sistem pendidikan nasional.

Meminjam ucapan Mendiknas Mohammad Nuh, janganlah ada pihak yang dianggap kalah atau menang, kawan atau lawan, tetapi sebaiknya semua pihak segera menyesuaikan diri dengan keputusan pembatalan UU BHP tersebut, termasuk jika kemudian terbit Peraturan Pemerintah (PP) baru yang terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.

Catatan: Tulisan ini adalah editorial (tajuk rencana) Tabloid Cerdas, edisi April 2010