Partai-partai yang semula bersandar padanya, yang menjanjikan dukungan penuh, tiba-tiba berubah haluan. Mereka mengalihkan pandangan kepada seorang kandidat yang selama ini tak pernah terlihat di tengah masyarakat. Sosok yang bahkan namanya tak pernah terdengar, apalagi wajahnya yang tak pernah menghiasi baliho atau pamflet kampanye.
------
Senin, 26 Agustus 2024
CERPEN
Calon Bupati
Oleh: Asnawin Aminuddin
Di sebuah kota yang riuh oleh harapan, Daeng Nappa’ telah menanam benih mimpinya sejak lama. Sosoknya yang sederhana tapi penuh semangat, selalu hadir di tengah-tengah warganya.
Senyumnya yang tulus menghiasi setiap sudut kota, tergambar dalam baliho-baliho yang tak terhitung jumlahnya, berdiri tegak dari pasar hingga jalan raya. Wajahnya bukan lagi sekadar gambar, tapi simbol harapan yang merasuk dalam hati setiap orang, dari yang tua hingga yang muda.
“Daeng Nappa’ itu orangnya jujur dan rendah hati,” bisik seorang ibu di pasar, sambil membandingkan harga cabai.
“Tidak seperti yang lain, dia selalu turun langsung, mendengar kita,” tambah seorang bapak sambil menyusun sayur dagangannya.
“Anak-anak saya pun suka dengan dia, hafal dengan slogannya,” sahut seorang ibu muda sambil menimang bayinya.
Tidak ada sudut kota yang tidak disentuh oleh langkah Daeng Nappa’. Ia hadir di pasar-pasar tradisional, mendengarkan keluhan para pedagang kecil yang terhimpit oleh himpitan hidup.
Ia duduk di antara para petani, mendengar setiap tetes keringat yang terjatuh ke bumi. Ia berbincang dengan nelayan, merasakan getirnya kehidupan di tengah ombak yang tak menentu.
Di setiap tempat, Daeng Nappa’ selalu membawa serta harapan, dan warga membalasnya dengan cinta serta keyakinan. Dukungan baginya seperti air yang mengalir deras, dari ibu-ibu yang berkumpul dalam arisan hingga para tokoh masyarakat yang dihormati. Namun, ketika waktu pendaftaran Pilkada semakin dekat, awan gelap mulai bergelayut di langit harapannya. Kabar buruk datang seperti badai yang tak terduga.
Partai-partai yang semula bersandar padanya, yang menjanjikan dukungan penuh, tiba-tiba berubah haluan. Mereka mengalihkan pandangan kepada seorang kandidat yang selama ini tak pernah terlihat di tengah masyarakat. Sosok yang bahkan namanya tak pernah terdengar, apalagi wajahnya yang tak pernah menghiasi baliho atau pamflet kampanye.
“Siapa dia? Kami bahkan tidak pernah mendengarnya!” kata seorang pria paruh baya di warung kopi, dengan nada tidak percaya.
“Bagaimana mungkin orang asing itu tiba-tiba muncul dan diusung jadi calon?” tanya seorang pemuda dengan nada kecewa.
“Ini pasti ada permainan uang di baliknya,” timpal seorang pria lain, menggelengkan kepala.
Kandidat baru itu bagaikan angin yang datang dari arah yang tak terduga, membawa “bekal” yang lebih besar dan dukungan dari mereka yang berkuasa. Partai-partai, yang sebelumnya seolah menjadi tembok kokoh bagi Daeng Nappa’, runtuh begitu saja.
Seperti daun kering yang tersapu angin, mereka beralih kepada kandidat “beruang” itu. Daeng Nappa’ hanya bisa tersenyum kecut, menyaksikan impian yang dirajut dengan susah payah selama bertahun-tahun, hancur di hadapan kenyataan yang pahit.
Warga yang dulu begitu antusias mendukungnya pun terperangah, tak percaya dengan apa yang terjadi. Mereka bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin seseorang yang tak pernah mereka lihat, tak pernah mereka dengar, tiba-tiba menjadi calon yang diusung?
Tapi itulah politik, dunia di mana angin bisa berhembus ke arah mana saja, tergantung siapa yang bisa membayar lebih mahal. Janji-janji yang dulu seindah pelangi, kini lenyap, tergantikan oleh kenyataan yang pahit dan penuh kepalsuan.
“Apa boleh buat, mungkin bukan waktunya Daeng Nappa’ sekarang,” kata seorang pria tua sambil menatap langit yang mulai gelap.
“Tapi kita tahu, dia orang baik. Mungkin nanti akan ada kesempatan lagi untuknya,” sahut yang lain, mencoba menenangkan kekecewaan.
Dengan langkah yang perlahan namun pasti, Daeng Nappa’ pulang ke rumahnya. Di tengah keremangan senja, ia duduk di beranda, menatap langit yang mulai gelap. Dalam hatinya, ia merenung, mencoba menerima kenyataan dengan hati yang lapang.
“Mungkin belum rezekiku kali ini,” bisiknya pelan, sambil memandang jauh ke depan, ke arah masa depan yang masih penuh misteri.
Saat itulah, Daeng Singara', istrinya, duduk di sampingnya. Dengan senyum yang meneduhkan, ia berkata, “Kegagalan bukanlah akhir dari perjalanan, Daeng. Mungkin kita hanya belum sampai di persimpangan yang tepat. Kita masih punya waktu, masih punya harapan. Jangan biarkan kenyataan hari ini membunuh mimpi-mimpimu. Ingat, langit tak selalu mendung, pasti akan ada matahari yang terbit di esok hari.”
Meskipun harapan itu pupus, Daeng Nappa’ tetap teguh. Baginya, kekalahan bukanlah akhir dari segalanya. Ia tahu, di balik setiap kegagalan, ada hikmah yang tersembunyi, dan ia percaya, suatu hari nanti, kesempatan lain akan datang menghampirinya, memberi ruang untuk mimpi-mimpi baru yang akan ia rajut kembali, dengan semangat yang tak pernah padam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar