Minggu, 25 Agustus 2024

Pilpres Curang, Pemilu Buruk, Quo Vadis Indonesia?

    

Hasil pilpres kemudian dinilai oleh banyak pihak penuh dengan kecurangan. Bahkan sebanyak 100 tokoh bangsa menyatakan menolak bersama-sama hasil penghitungan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Mereka menilai kontestasi politik itu penuh dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
 




----

Senin, 26 Agustus 2024


Pilpres Curang, Pemilu Buruk, Quo Vadis Indonesia?

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

 

Narasi-narasi kurang sedap bermunculan pada Pemilu 2024. Ada narasi “Pemilu curang,” “Pilpres curang,” “Pemilu penuh kecurangan,” “Tolak Pemilu curang.” Ada narasi “Pemilu 2024 Terburuk Sepanjang Sejarah”. Ada juga narasi “Kami tidak ingin dipimpin presiden dari hasil pemilu curang.”

Narasi-narasi itu tentu saja membuat kening kita berkerut. Kita sedih. Kita prihatin. Mengapa muncul narasi-narasi kurang sedap tentang Pemilu 2024 dan Pilpres 2024?

Narasi-narasi itu bahkan sudah muncul sebelum Pemilu, 14 Maret 2024, setelah melihat adanya indikasi kecurangan, adanya cawecawe Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024.

Narasi itu muncul setelah dipaksakannya Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres dari Prabowo. Usia Gibran belum genap 40 tahun, tapi Mahkamah Konstitusi kemudian mengubah aturan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan, calon presiden dan calon wakil presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh).

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat membacakan putusan MK mengatakan; “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, ’berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang  tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.

Maka muncullah narasi kurang sedap yang menyatakan, “Anak Kecil Dipaksa jadi Cawapres, Bahaya untuk Bangsa”, dan banyak lagi lainnya.

Sejatinya kita tidak ingin muncul narasi kurang sedap tentang Pemilu, apalagi tentang Pilpres. Kita menginginkan narasi yang enak didengar. Sayangnya, keinginan itu hanya jadi kerinduan. Entah kapan narasi yang enak didengar itu muncul kembali.

Narasi kurang sedap mulai bermunculan ketika Presiden Jokowi diusulkan bisa maju sebagai calon presiden untuk periode ketiga berturut-turut. Tetapi narasi ini gagal karena terkendala aturan.

Pada dasarnya --dalam sistem politik di Indonesia-- Presiden hanya diperbolehkan menjabat untuk dua periode berturut-turut, sesuai dengan amendemen konstitusi yang dilakukan pada 2002 setelah era pemerintahan Soeharto yang panjang.

Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk mencegah konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Jadi, jika ada usulan atau upaya untuk memungkinkan seorang presiden kembali untuk periode ketiga berturut-turut, itu kemungkinan akan bertentangan dengan konstitusi dan aturan yang berlaku.

Oleh karenanya, jika ada usulan semacam itu, pasti akan ada kendala atau hambatan hukum yang harus diatasi terlebih dahulu, sebelum hal tersebut bisa direalisasikan.

Gagal dengan usulan presiden bisa dipilih tiga periode berturut-turut, lalu dimunculkanlah usulan Presidan Jokowi diperpanjang masa jabatannya sebagai presiden, dengan berbagai alasan yang seolaholah masuk akal. Tetapi usulan itu ditolak karena bertentangan dengan aturan.

Usulan untuk memperpanjang masa jabatan seorang presiden di Indonesia tentu akan menuai banyak perdebatan dan pertentangan. Ini karena hal tersebut akan bertentangan dengan konstitusi yang mengatur masa jabatan presiden hanya untuk dua periode berturutturut. Melanggar aturan semacam itu bisa membuka pintu untuk krisis konstitusional dan merusak stabilitas politik negara.

Jika ada usulan semacam itu, tentu akan muncul penolakan dari berbagai pihak, baik dari masyarakat umum, partai politik, maupun lembaga-lembaga terkait seperti Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks tersebut, penolakan atas usulan tersebut akan didasarkan pada konsistensi terhadap aturan dan prinsip-prinsip demokrasi.

 

Paman Usman

 

Gagal dengan usulan perpanjangan masa jabatan presiden, Presiden Jokowi kemudian memaksakan anaknya, Gibran jadi cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto. Padahal usia Gibran belum genap 40 tahun, sebagai batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.

Presiden Jokowi memang tidak melakukannya secara langsung. Pemaksaan itu dilakukan dengan cara diajukannya gugatan oleh mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqibbirru. Kemudian Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tersebut yang akhirnya KPU meloloskan Gibran jadi Cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Dampak dari putusan MK tersebut, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kemudian memberhentikan Anwar Usman selaku Ketua MK, karena melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama. Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Dalam proses gugatan hingga putusan MK yang membolehkan Gibran maju sebagai cawapres, muncullah banyak narasi kurang sedap, karena Anwar Usman adalah ipar dari Jokowi dan secara otomatis adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka. Narasi kurang sedap itu antara lain “Paman Usman” dan “Di MK ada Paman Usman.”

Menjelang pemilu, muncul lagi kontroversi dari Presiden Jokowi. Ia menyatakan terdapat aturan yang mengatur seorang presiden boleh memihak kepada kandidat calon presiden dan wakil presiden dalam pilpres. Jokowi menambahkan bahwa seorang presiden juga diperbolehkan berkampanye, yang penting tidak menggunakan fasilitas negara.

Maka lagi-lagi bermunculan berbagai narasi kurang sedap, yang sungguh tidak mengenakkan didengar dan sangat tidak nyaman untuk dibaca.

Hasil pilpres kemudian dinilai oleh banyak pihak penuh dengan kecurangan. Bahkan sebanyak 100 tokoh bangsa menyatakan menolak bersama-sama hasil penghitungan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Mereka menilai kontestasi politik itu penuh dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin memimpin pembacaan sikap tokoh-tokoh bangsa tersebut di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu, 21 Februari 2024.

Ia mengatakan, “Kami dengan penuh kesadaran dan keyakinan menolak hasil pemungutan dan perhitungan suara pilpres yang sedang berlangsung dan kelanjutannya,”

Para tokoh bangsa itu juga menyatakan, pelaksanaan Pilpres 2024 telah menyimpang. Khususnya dari ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, serta etika politik berdasarkan agama dan budaya bangsa, khususnya prinsip kejujuran dan keadilan.

Dasar sikap tersebut diklaim karena mencermati penyelenggaraan Pilpres 2024, mulai dari jelang tahapan hingga penayangan hasil quick count serta real count Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Jika kemudian pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang dinyatakan keluar sebagai pemenang Pilpres 2024 dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 2024-2029, mau dibawa ke mana Indonesia? Quo vadis Indonesia? ***


------

Keterangan:

Artikel ini termuat dalam buku: “Pilpres 2024; Kesaksian Para Penulis” (Kumpulan Karya 76 Penulis tentang Pilpres 2024), diterbitkan PENERBIT SATUPENA, Tahun 2024


Tidak ada komentar:

Posting Komentar