Kawin lari memang merupakan peristiwa memalukan, tetapi justru karena kawin lari itulah, Nurmi Nonci yang sehari-hari menjabat Wakil Dekan II Fisipol Universitas 45 Makassar, berhasil meraih gelar doktor dalam bidang sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar (PPs UNM). (ist)
-------------
Raih Doktor Berkat Kawin Lari
Kawin lari memang merupakan peristiwa memalukan, tetapi justru karena kawin lari itulah, Nurmi Nonci yang sehari-hari menjabat Wakil Dekan II Fisipol Universitas 45 Makassar, berhasil meraih gelar doktor dalam bidang sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar (PPs UNM).
Tentu saja Nurmi Nonci tidak melakukan kawin lari. Ia melakukan penelitian tentang kawin lari atau silariang (Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar), dan kemudian memaparkan hasil penelitiannya pada ujian promosi doktor, di kampus PPs UNM, Senin, 24 Februari 2014.
Para penguji antara lain Prof Andi Ikhsan (ketua sidang), Prof Heri Tahir, Prof Rabihatun, Prof Mahmud Tang (promotor), Prof Darmawan Salman (co-promotor), dan Prof Andi Agustang (Ketua Prodi Sosiologi PPs UNM).
Nurmi Nonci mengatakan, fenomena kawin lari atau silariang pada suku Bugis-Makassar merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji, karena akan menjadi siri’ (malu, harga diri, red) yang akan dibawa oleh keluarga laki-laki maupun perempuan. Dampaknya, jika fatal, bisa saja akan berujung pada tindakan kriminal.
Dari hasil penelitiannya, Nurmi menemukan fakta bahwa sebagian masyarakat menganggap perkawinan sangat penting, sehingga para orangtua sering menganggap bahwa merekalah yang paling mengetahui jodoh yang tepat untuk anaknya.
Sayangnya, jika calon suami atau calon isteri tidak berasal dari kasta atau golongan yang sesuai, para orangtua biasanya tidak memberikan restu. Dalam kondisi seperti itulah kerap terjadi peristiwa silariang atau kawin lari sebagai alternatif.
“Perkawinan alternatif antara lain seperti kawin lari atau silariang, menculik pengantin wanita, atau kawin paksa,” ujarnya.
Dikatakan Nurmi, perkawinan alternatif ini sebenarnya hanyalah pilihan bagi mereka yang ingin menikah di luar jenis perkawinan yang dianggap ideal. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap tindakan orangtua yang terlalu mengatur masa depan pasangan.
“Fenomena ini sejak dulu memang sudah ada, dan dapat diramalkan ke depan akan terus ada. Hanya saja, pada zaman sekarang berbeda perlakuan yang diterima dibanding zaman dulu,” ungkapnya
Alumnus Magister Kependudukan dan SDM Unhas ini mengatakan, pada zaman dahulu, karena besarnya pengaruh siri’ atas perbuatan kawin lari bagi etnis Bugis-Makassar, maka pihak yang dirugikan atau terkena aib, akan mengambil tindakan berupa kemungkinan besar apabila bertemu pria yang membawa lari anak gadisnya akan dibunuh. Jika tidak bertemu dengan pria yang dicari tersebut, kemungkinan keluarga wanita akan pindah dari kampung tersebut, dan sebaliknya pihak keluarga laki-laki akan terus berhati-hati terhadap kemungkinan terjadinya serangan dari pihak keluarga wanita.
“Namun untuk kondisi sekarang, kebencian dan dendam tidak lagi dikedepankan. Apalagi sampai melakukan tindakan pembunuhan. Karena sudah pasti pelaku pembunuhan akan dikenai hukum pidana. Tidak lagi menggunakan hukum adat. Saat ini, lebih mengarah dengan cara penyelesaian adat atau mabbaji',” pungkas Nurmi.
Ibu tiga anak ini mengangkat judul disertasi, "Silariang: Studi konstruksi Sosial Pada Etnis Makassar di Kecamatan Pattalassang Gowa". Prof Andi Ikhsan selaku pimpinan sidang ujian promosi, mengungkapkan, Nurmi Nonci berhasil mendapatkan IPK 3,70 dengan predikat sangat memuaskan.
Berdasarkan data dari PPs UNM, Nurmi menjadi alumni doktor ke-205 PPs UNM dan menjadi doktor ke-61 untuk program studi Sosiologi. (asnawin/r)
--------------
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan Anda di blog "Cerdas News"]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar