Dalam situasi kompetitif, pengelola perguruan tinggi harus berupaya keras meningkatkan kualitasnya dalam memberikan kualitas pelayanan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan para pelanggannya (mahasiswa, pengelola, pemerintah, orangtua mahasiswa, masyarakat, organisasi/lembaga, dan dunia kerja). Kualitas pelayanan jasa yang diberikan perguruan tinggi kepada langganan sangat ditentukan sejauhmana perguruan tinggi itu ditata kelola dengan baik yang menyebabkan Sehatnya Organisasi. -- Ibrahim Saman --
--------------------------
Menuju PTS Berdaya Saing
Oleh: Ibrahim Saman
Fokus pengembangan pendidikan tinggi bertumpu pada HELTS 2005–2009, dengan tiga issu strategis (Daya Saing Bangsa, Kesehatan Organisasi, dan Otonomi Pengelolaan) dalam mewujudkan visi Departemen Pendidikan Nasional “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif.”
Pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia dewasa ini mengalami peningkatan yang cukup pesat. Itu dapat dilihat dari jumlah 82 PTN dengan 3.372 prodi, dan di 12 Kopertis seluruh Indonesai tercatat 2.777 PTS, dengan 12.068 prodi.
Dari data tersebut perguruan tinggi swasta di Sulawesi sebagai wilayah Kopertis IX, tercatat 326 PTS (11,16%) dengan 1.040 prodi (8,62%).
Gambaran data ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi negeri terbatas.Kondisi itu memberi peluang perguruan tinggi swasta untuk berperan banyak dalam merekrut jumlah mahasiswa maupun peluang lain dalam membangun pendidikan, serta menciptakan insan cerdas dan kompetitif.
Dalam situasi kompetitif, pengelola perguruan tinggi harus berupaya keras meningkatkan kualitasnya dalam memberikan kualitas pelayanan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan para pelanggannya.
Pelanggan perguruan tinggi yaitu pelanggan primer (mahasiswa), pelanggan skunder (pengelola, pemerintah, orangtua mahasiswa, masyarakat, organisasi/lembaga, dan lain-lain), pelanggan tersier (dunia kerja).
Kualitas pelayanan jasa yang diberikan perguruan tinggi kepada langganan sangat ditentukan sejauhmana perguruan tinggi itu ditata kelola dengan baik yang menyebabkan Sehatnya Organisasi.
Oleh karena itu salah satu topik dalam tulisan ini adalah strategis yang dilakukan Kopertis Wilayah IX, dalam melakukan WASDALBIN (pengawasan, pengendalian, pengawasan), yaitu pemberdayaan (empowering) sumberdaya manusia.
Kondisi Objektif PTS
Kopertis Wilayah IX Sulawesi yang meliputi enam provinsi, membina 326 PTS dengan 1.040 program studi. Prodi-prodi tersebar di Sulawesi Selatan 185 PTS (59,87%), Sulawesi Utara 44 PTS (14,24%), Sulawesi Tengah 25 PTS (8,09%), Sulawesi Tenggara 30 PTS (9,71%), Sulawesi Barat 15 PTS (4,85%), dan Gorontalo 9 PTS (3,24%).
Dosen terdiri atas Dosen Negeri Dipekerjakan 1.055 orang, Yayasan 4.907 orang, dan Luar Biasa 4.703 orang.
Kualifikasi Akademik terdiri Diploma IV 88 orang, Sarjana 3.652 orang, Magister 2.352 orang, dan Doktor 213 orang.
Jenjang jabatan Fungsional Asisten Ahli 2.484 orang (38,22%), Lektor 1.395 orang(21,46 %), Lektor Kepala 635 orang (9,76%), dan Guru Besar 61 orang (0,99 %) dan Tenaga Pengajar 1.923 orang (29,57%).
Jumlah mahasiswa tahun 2007 sebanyak 137.339 orang, terdiri atas mahasiswa eksakta sebanyak 56.778 orang (41,34%), dan non-eksakta sebanyak 70.561 orang (58,66 %).
Fasilitas yg dapat mendukung pemberdayaan adalah Growth Center, e–Learning Center Kopertis Wil.IX, dan Vicon Mini Inherent.
Berdasarkan kondisi objektif di atas maka gambaran perguruan tinggi swasta Kopertis Wilayah IX Sulawesi bila dilihat dari potensi sumberdaya manusia dengan sarana dan prasarana yang tersedia, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, menjadi kendala dalam peningkatan daya saing.
Gambaran kondisi sebagai berikut. Pertama, para dosen yang berkualitas tinggi dan terbatas lebih banyak tinggal di perguruan tinggi swasta yang besar dan berada di kota.
Kedua, ketimpangan mutu pendidikan antara lulusan perguruan tinggi swasta yang ada di kota dan daerah.
Ketiga, rendahnya citra perguruan tinggi swasta secara umum, disebabkan karena PTS berjalan sendiri-sendiri, tidak berkembangnya pemberdayaan antar-PTS dengan baik.
Keempat, terbatasnya sarana penunjang akademik, untuk mendukung proses pembelajaran secara baik, pada umumnya SDM di PTS hanya menunggu perintah, petunjuk, atau pengarahan dari pimpinan, sehingga prakarsa, inovasi, dan kreativitas tidak berkembang, yang berkembang adalah kebergantungan.
Strategi Pembinaan
Berdasarkan wilayah dan potensi sumberdaya, serta kendala yang dihadapi PTS, maka strategi Wasdalbin Kopertis Wilayah IX Sulawesi, tergambar dalam langkah strategis Penguatan Tatakelola dengan penekanan yaitu: (1) Peningkatan Kualitas, (2) Penegakan Hukum, dan (3) Pemberdayaan.
Dalam tulisan ini, penulis menitikberatkan pembahasan mengenai strategi Pemberdayaan (Empower-ment), mengingat kondisi perguruan tinggi swasta dalam wilayah Kopertis IX, tersebar di enam wilayah provinsi, yang masih memiliki keterbatasan dan kelemahan manajemen. Sehingga untuk mendukung peningkatan kualitas, dan penegakan hukum diperlukan strategi pemberdayaan (Empowering).
Aileen Mitchell Stewart, dalam bukunya Empowering People (1998:110), mengemukakan Teori E (Empowerment) bahwa orang sebenarnya mampu menyumbangkan lebih banyak dari pada yang dimungkinkan oleh kebanyakan organisasi selama ini, bahwa orang mau dan akan bekerja baik jika kita memberi kemungkinan.
Dalam teori ini juga dipercaya bahwa para pemimpin lebih efektif berperan sebagai fasilitator dari pada sebagai pemimpin, dan bahwa mereka harus melimpahkan kekuasaan, bukan hanya tanggung jawab kepada individu-individu atau kelompok.
Gietsch & Davis (1997: 174) dalam buku Perguruan Tinggi Bermutu (2001: 169), menyatukan pengertian pemberdayaan dengan partisipasi (involvement) dengan menggunakan istilah Total Employee Involvement and Empowerment, yang berarti bahwa pemberdayaan para karyawan terjadi hanya apabila mereka berpartisipasi aktif sepenuhnya dalam proses pemikiran dan kegiatan pada semua tingkatan organisasi.
Dalam partisipasi itu setiap karyawan diberi kesempatan luas dan difasilitasi untuk memberikan sumbangan pemikiran, mengadakan inovasi atau kreativitas, sehingga dapat mengembangkan dirinya.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai penciptaan dan pengembangan situasi di dalam organisasi perguruan tinggi, sehingga semua orang baik kedudukannya sebagai penyelenggara maupun pengelola dan seluruh civitas akademika memiliki kemampuan dan kesempatan berkinerja, berkreasi, berinovasi, serta mengembangkan diri.
Penerapan konsep pemberdayaan (empowering) dalam manajemen pada organisasi, bukan hal yang gampang, oleh karena menuntut kecakapan dan kecerdasan seorang pemimpin.
Aileen M.Stewart (1998:77) mengemukakan seperangkat kecakapan yang perlu dimiliki yaitu: (1) membuat mampu (enabling), (2) memperlancar (fasilitating), (3) berkonsultasi (consulting), (4) bekerjasama (collaborating), (5) membimbing (mentoring), dan (6) mendukung (supporting).
Pembentukan unit-unit pengembangan, forum, dan assosiai di Kopertis Wilayah IX Sulawesi adalah upaya strategis mewujudkan kebersamaan dan pemberdayaan sumberdaya PTS dalam mendukung penguatan or-ganisasi Kopertis dalam pelaksanaan tupoksi sebagai pengawas, pengendali dan pembina untuk mewujudkan PTS yang berdaya saing.
Butir-Butir Pemberdayaan
Dalam menciptakan daya saing PTS, diperlukan otonomi pengelolaan dengan tata kelola yang akuntabel yang diperkuat dengan sehatnya organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan, untuk membangun organisasi yang sehat, salah satu strategis yaitu pemberdayaan sumberdaya manusia, baik secara internal maupun eksternal.
Beberapa butir-butir pemberdayaan yang perlu dibangun adalah, pertama membangun visi bersama.
Pentingnya visi bersama agar seluruh personil mengetahui kemana organisasi kita arahkan, seluruh personil yang terlibat memiliki gambaran yang jelas tentang apa yang dikehendaki dan mengapa.
Jika setiap personil jelas mengenai tujuan organisasi, maka sebagian besar kegiatan akan terkoordinasi dengan sendirinya. Kebanyakan permasalahan dalam organisasi diakibatkan oleh tujuan yang tidak jelas, oleh karena itu diperlukan visi bersama.
Kedua, pembinaan. Dalam kaitan dengan pembinaan diperlukan pendidikan dan pelatihan bagi personil yang terlibat, untuk menstandarkan perilaku secara konsisten dan dapat diandalkan, pembinaan ini juga diharapkan pada suatu saat mereka diberi kesempatan untuk berpikir dan mengambil keputusan sendiri tentang apa yang harus dikerjakan.
Ketiga, Mengatasi Kendala. Seorang pimpinan yang memberdayakan, selalu berusaha menghilangkan kendala, dengan memastikan bahwa segala sistem dan prosedur sejalan dengan tujuan, sehingga dengan pemberdayaan merupakan proses mencapai tujuan.
Keempat, Kejelasan. Betapapun pentingnya pemberdayaan, kita tidak dapat mengharapkan apabila personil yang terlibat tidak memahami dengan baik apa itu pemberdayaan, dan apa manfaat yang didatangkan. Tidak ada pemberdayaan yang baik bilamana personil yang terlibat masih ragu apa yang sebenarnya kita kehendaki, pikirkan, dan percayai.
Kelima, Menyemangati. Pimpinan harus dapat menciptakan kegairahan dan semangat akan program pemberdayaan, jika tidak tampak bersemangat, jangan harap orang lainpun akan bergairah.
Pemberdayaan sering menciutkan hati meskipun kebaikan dan keuntungan yang ditimbulkan amat besar bagi setiap personil maupun organisasi PTS.
Keenam, Menilai. Pemberdayaan adalah merupakan suatu proses, oleh karena itu pentingnya melakukan memantaua atau penilaian secara terus menerus, untuk melihat seberapa efektif sasaran dan tujuan tercapai. Dalam penilaian ini diperlukan in-formasi balik dari para personal yang terlibat untuk memberikan komentar atas kinerja yang memberdayakan.
Kepelayanan Bermutu
Kopertis Wilayah IX Sulawesi dalam misinya menyatakan “Memberikan Pelayanan Terbaik Kepada PTS, Stakeholders dan Menjadi Pengawas, Pengendali, dan Pembina yang Profesional.”
Implikasi yang sangat mendasar dari kata Pelayanan dalam misi yang diemban Kopertis IX, sangat mulia, karena tersirat makna (1) Ada pihak yang melayani disebut pelayan, (2) Ada pihak yang dilayani, disebut pe-langgan, dan (3) Terjadinya proses melayani dan dilayani.
Ketiga hal tersebut sangat mendasar, karena sesungguhnya itulah yang dialami dalam kehidupan manusia.
Prinsip dasar seorang pelayan yang bermutu ialah “Melayani, bukan Dilayani”. Berkaitan dengan Tri Konsep Strategi yang dikembangkan oleh Kopertis Wilayah IX yaitu Peningkatan Kualitas, Penegakan Hukum, dan Pemberdayaan, pada hakekatnya adalah komitmen pelayanan yang diberikan kepada PTS di Wilayah IX, untuk menjadi PTS berdaya Saing.
Pelimpahan beberapa kewenangan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ke Kopertis Wilayah sejak Januari 2009, adalah merupakan pemberdayaan Kopertis dalam rangka percepatan pelayanan untuk mewujudkan perguruan tinggi bermutu dan berdaya saing.
Beberapa kewenangan yang dilimpahkan adalah: (1) perpanjangan ijin penyelenggaraan, (2) Angka kredit Lektor ke bawah, (3) penilaian proposal penelitian dosen muda dan kajian wanita, (4) penyaluran peserta BPPS kepada dosen tetap PTS untuk studi lanjut (S2), serta (5) pembagian kuota sertifikasi dosen.
Bagi Perguruan Tinggi Swasta, kepelayanan bermutu sangat penting artinya dalam mengemban Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
PTS mempunyai pelanggan yaitu: mahasiswa, orangtua, pemerintah, masyarakat, dan dunia kerja. PTS membutuhkan pelanggan, begitu juga pelanggan membutuhkan PTS.
Pada dasarnya keduanya saling membutuhkan, tidak ada yang dapat berjalan sendiri-sendiri. Tetapi pada akhirnya stakeholders-lah yang menentukan apakah lulusan perguruan tinggi bermutu atau tidak.
Sifat dan sikap inilah yang harus disikapi oleh perguruan tinggi, agar senantiasa memiliki akuntabilitas.
Tuntutan dalam perkembangan organisasi perguruan tinggi baik negeri maupun swasta saat ini meliputi transparansi dan akuntabilitas, mengharuskan perguruan tinggi memerlukan tata kelola yang baik, dan menyangkut kepentingan masyarakat luas, maka perlu pula dipertanggungjawabkan secara baik dan benar.
John. J.Carson dalam bukunya: Governance of College and Universities (New York :1960), termuat dalam buku Manajemen Perguruan Tinggi Modern, oleh: R.Eko Indrajit & R.Djokopranoto, memberikan definisi: Governance is a decision- making proces for making rules and regulation which govern the conduct of and relationship between the various members of the colleges or university community.”
Carson mengemukakan bahwa dalam perguruan tinggi, kita menyaksikan suatu proses atau seni dimana para cendekiawan, mahasiswa, pengajar, administrator, dan pimpinan bergabung bersama di kolege atau universitas, serta melaksanakan peraturan dan ketentuan yang bertujuan meminimalkan konflik, meningkatkan kerjasama, dan menjamin kebebasan individu tertentu.
Akuntabilitas suatu lembaga pendidikan tinggi dapat diartikan sejauh mana perguruan tinggi tersebut mempunyai makna dari para stakeholders-nya, dapat tidaknya kinerja (produk), prilaku pengelola dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum, etika akademik, agama, dan nilai budaya.
Daulat P.Tampubolong, dalam bukunya Perguruan Tinggi Bermutu(2001:123), mengatakan, akuntabilitas perguruan tinggi dapat dilihat yaitu: (a) apakah peraturan yang ditetapkan oleh perguruan tinggi dapat dipertanggung jawabkan secara undang-undang?
(b) Apakah materi kuliah yang diberikan dosen dapat dipertanggung-jawabkan secara kurikuler dan etika akademik?, (c) apakah nilai hasil ujian ( IP/IPK) yang diperoleh mahasiswa terpercaya?
(d) Apakah prilaku (sikap) kepelayanan para pengelola perguruan tinggi dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum, etika, agama, dan nilai budaya?, (e) apakah penelitian yang dilakukan dan hasilnya tidak bertentangan dengan agama dan atau undang-undang?, serta (f) apakah perguruan tinggi mempunyai kode etik?
Bahwa kondisi objektif perguruan tinggi swasta di Kopertis Wilayah IX, masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan, SDM yang berkualitas tersebar di berbagai PTS, fasilitas pendukung proses pembelajaran masih sangat memadai dan hanya berada pada PTS tertentu.
Manajemen PTS masih lemah, berimplikasi terhadap tidak sehatnya organisasi PTS, sehingga sumberdaya manusia tidak bersinergi untuk mengangkat citra PTS Kopertis Wilayah IX Sulawesi dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas, pengendali dan pembina, dengan melihat kondisi objektif PTS, mengambil langkah strategis yaitu peningkatan kualitas, penegakan hukum dan pemberdayaan (empowering).
Upaya strategis pemberdayaan SDM yang dilakukan oleh Kopertis Wilayah IX, telah dibentuk berbagai unit pengembangan, forum, asosiasi, penyediaan fasilitas e-learning center, dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dengan satu simpul pemberdayaan.
Berbagai upaya dan unit tersebut diharapkan dapat menunjang pelaksanaan wasdalbin, mewujudkan otonomi pengelolaan PTS, kesehatan organiasi, sehingga dapat memberikan pelayanan bermutu, dengan tetap berkomitmen terhadap kualitas, dan ketaatan azas (penegakan hukum), dengan demikian PTS akan berdaya saing.***
(Drs. H. Ibrahim Saman MM adalah Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah IX Sulawesi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar