Tersebutlah Sawerigading yang Agung, pulang kampung setelah melewati waktu lebih dari seribu dua ratus tahun lalu. Ia pulang hanya didampingi seorang pengawal. Ketika tiba di Malili, Tana Batara Guru, ia kebingungan. Tidak ada yang mengenalnya. Ia kemudian seakan tiada henti mengenalkan dirinya sebagai orang penting yang membangun tonggak tanah leluhurnya. Akan tetapi, tak ada yang peduli.
(Asdar Muis RMS)
----------------
Sawerigading Gagap Pulang Kampung
Oleh : Asdar Muis RMS
INI bukan legenda. Bukan parodi. Ini imajinasi! Murni suatu geliat dari kegelisahaan terhadap penghargaan nilai-nilai kultur dan akar sejarah keberadaan kita sebagai manusia Bugis, sebagai manusia berbudaya!
Sebab, kita selalu lupa dari mana muasal kita lalu merasa bagian dari masa silam. Padahal, kita sudah lama tidak berjiwa Bugis, karena kita tersergap oleh budaya asing yang tidak sekadar terjadi transformasi, tapi tertelan. Pun kita gagap merasa masih memiliki jati diri, namun pada dasar-nya: kita bukan lagi siapa-siapa – dan selalu merasa saja sebagai apa!
Tersebutlah Sawerigading yang Agung, pulang kampung setelah melewati waktu lebih dari seribu dua ratus tahun lalu. Ia pulang hanya didampingi seorang pengawal. Ketika tiba di Malili, Tana Batara Guru, ia kebingungan. Tidak ada yang mengenalnya. Ia kemudian seakan tiada henti mengenalkan dirinya sebagai orang penting yang membangun tonggak tanah leluhurnya. Akan tetapi, tak ada yang peduli.
Sawerigading pun memanggil dan mencari PatotoE, Batara Guru, dan ayahnya Batara Lattu, juga memanggil saudara kembarnya We Tenri Abeng. Ia protes mengapa ia tidak dikenal. Pun PatotoE dan Batara Lattu memintanya bersabar sebagai orang yang sudah pergi jauh demi memburu cinta kepada I We Cudai di negeri Cina.
PatotoE dan Batara Lattu berujar; “Kamu mestinya bahagia, karena walau kau pergi jauh, tapi namamu dikenang. Tidak seperti kami. Kamu diabadikan di berbagai tempat, sebagai nama kampus, sebagai nama jalan, juga sebagai simbol di sebuah kabupaten dengan menyebutmu Bumi Sawerigading di Belopa. Yang lain pun begitu. Ada Bumi Batara Guru di Malili. Ada Bumi La Galigo di Masamba. Kami di mana?”
Sawerigading gamang. Ia gagap melihat kondisi tanah leluhurnya. Ia tidak tahu harus protes kepada siapa. Ia kemudian mengritik mengapa kehidu-pannya yang sudah diakui di dunia sebagai epik terpanjang sesuai karya La Galigo, melebihi Mahabrata, kok tidak diajarkan di generasi pelanjutnya. Namun, ia masih bisa bahagia karena masih ada Bissu yang memelihara kebudayaan masa silam miliknya. Pun ia mencoba kemampuan Bissu “maggi-rik” dan memainkan lalu menusukkan keris ke tubuh. Ia bersyukur, masih ada sedikit budaya yang tersisa.
Walau masyarakat langit juga mengikuti modernitas, tapi Sawerigading menegaskan bahwa tidak ada nilai-nilai tua yang agung itu yang terbuang. “Kami boleh maju, tapi kami berlandas pada nilai-nilai kami sendiri,” tegasnya.
Itu sebabnya, ia mengaku kecewa karena nilai-nilai yang diturunkan dewa, yang dibawa Batara Guru, telah terbuang begitu saja. Dan anehnya, nama mereka masih digunakan tapi roh mereka telah lama hilang.
Protes Sawerigading makin menjadi-jadi. Ia tidak mau mengerti kenapa ada pelacuran, ada perzinahan, ada kejahatan, juga ada pencurian uang milik rakyat di berbagai tempat. Dan ia bingung seperti apa bentuk korupsi itu. Pun ketika ia dijelaskan seperti apa itu korupsi, Sawerigading makin marah. Di zamannya, tidak ada korupsi. Saat ditanya mengapa tak ada korupsi di masanya, ia menjawab singkat, “Karena di zaman kami belum ada uang.”
Sawerigading pun kembali berta-nya, “Mengapa orang di kekinian lebih mencintai uang daripada yang lain?” Dan ia mendapat jawaban: “Uang jauh lebih cantik dari cinta. Apa saja dapat dibeli dengan uang!”
Mulut Sawerigading melongo. “Kalau begitu, saya akan pasang gambar wajah saya di lembaran uang kertas seperti halnya Soekarno-Hatta, Pattimura.”
La Galigo kemudian dipanggil. Bissu diminta oleh Batara Guru untuk memanggil putra Sawerigading dari istrinya, We Cudai. Kala asyik membakar menyan dan dupa, Sawerigading protes.
“Memangnya di langit tidak modern seperti di bumi. Ayo cepat panggil pakai handphone! Masak kita berdekatan dengan satelit tapi kita tidak memanfaatkannya.”
Kala La Galigo datang, Sawerigading protes. “Mengapa kau tidak mengajarkan tentang diri saya, tentang dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah kepada mereka?”
Pun La Galigo menjawab, “Saya sudah melakukan semuanya. Saya bikin 12 bagian, tapi mereka baru membuatnya dua jilid. Itu pun tidak jelas lagi kapan ada jilid ketiganya. Dan mengapa mereka kesulitan membuatnya? Itu karena mereka suka mengubah-ubah bahasa nenek moyangnya. Dulu mereka mengenal bahasa kita, kini tidak lagi. Ah, bahasa negaranya saja yang Indonesia itu masih belepotan, eh mereka sudah mau sok jagoan pakai bahasa Inggris.
Lantas kapan mereka mau tahu bahasa Galigo yang sudah kutitipkan dari zaman ke zaman?”Sawerigading bingung, tidak mengerti. “Mengapa semua itu terjadi?”
La Galigo ikut bingung. “Ya, untunglah ada perempuan hebat bernama Colliq PujiE yang menyatukan serpihan-serpihan catatan saya di abad 19 masehi. Hanya saja, ia harus mengorbankan dirinya terbuang di kerajaannya di Tanete karena dicurigai kumpul kebo dengan BF Matthes.”
“Eh, kamu bicara apa, Galigo?” Sawerigading makin bingung.
“Saya membicarakan sejarah!”
“Sepertinya kamu menyinggung ayahandamu ini!”
“Tidak, ayah! Tidak, papi!”
Sawerigading mencibir. “Kamu masih suka menyinggungku tentang perempuan. Saya tidak suka kumpul dengan kerbau. Saya memang suka perempuan cantik. Tapi, lelaki manakah yang tidak suka perempuan cantik?”
“Dan, papi terusir dari negeri ini karena memaksakan kehendak untuk menikahi tanteku yang merupakan sau-dara kembarmu sendiri kan?” serbu La Galigo.
“Hei, kamu tidak akan ada jika saya tidak menikahi We Cudai ibumu.
Ingat itu!”
“Aha, Papi memang suka membu-ru perempuan. Ya, kan?”
Sawerigading diam.
“Kan terbukti, papi pulang kam-pung tanpa membawa mami, tidak membawa We Cudai. Apa alasan papi?”Sawerigading tertawa. “Kan sudah biasa toh jika laki-laki jalan sendiri. Ya, siapa tahu ada yang masih mau ke papi yang tetap tampak muda ini. Ya, kan, Go?”
La Galigo meradang. “Papi memang genit. Tidak pernah cukup satu perempuan. Kegenitan dijadikan alasan atas nama cinta. Cinta... cinta....! Padahal, cinta itu palsu. Bukan cinta suci yang direstui Dewa. Tapi cinta yang dapat diucapkan beribu-ribu kali tanpa bekas.”
Sawerigading marah! Ia angkat pedangnya. Ia ingin menebas apa saja seperti ketika menebang pohon Walenreng. PatotoE turun tangan dan meminta kedua ayah-anak itu berhenti bertengkar.
Batara Guru ikut menyela. “Sudahlah!” Lalu matanya memandang Sawerigading. “Apalagi yang kau masalahkan? Kau tetap yang terhebat. Paling hebat. Tahu kenapa? Karena anakmu yang menuliskan kisah hidupmu. Andaikata kau tidak pergi dan kau menuliskan cerita hidupku atau pun cerita tentang ayahmu Batara Lattu, kan bisa jadi saya Batara Guru ini atau Batara Lattu akan jauh lebih hebat daripada kamu!”
Sawerigading mendelik. “Kan, Batara Guru sendiri yang mengusirku.” Batara Guru menunduk haru. Ada anak sungai mengalir di pipinya. Ia terisak. “Kami menyesal membuatmu terusir. Kami tidak punya maksud demikian. Tapi, ambil saja hikmahnya. Toh kamu kan sudah terbiasa keliling dunia. Malah, cerita kehidupanmu saja dibawa keliling dunia. Dan, kamu tentu ikut keliling dunia.”
Sawerigading sedih. Ia menangis. “Untuk apa saya hebat. Untuk apa saya tetap jaya. Semua tiada guna. Saya cuma ingin dikenal, dimengerti, diketahui, diterima, dicintai, disayangi oleh keturunanku. Saya ingin jiwaku tetap ada di mana mereka hidup, ya di mana saja. Sebab, bumi ini, dunia tengah ini, adalah tempat menuju dunia atas, menuju langit pembebasan dari segala beban kehidupan!”
Semua diam. Beku. Dan tiba-tiba Sawerigading berteriak lagi, “Adakah yang masih mengenal saya?” Dan semua orang menggeleng. Pun Sawerigading menangis. Menjauh. Pergi. Lalu menghilang ke langit. Dan La Galigo serta semua yang datang dari langit, ikut terbang dan hilang!
Memang hanya cerita imajinasi. Tapi adakah kita tidak merasa malu jika ternyata kita lebih mencintai dan menghormati, malah menyembah-nyembah kebudayaan orang lain. Dan lebih gila lagi, kita lebih menyembah uang dari pada keluarga kita. Jauh lebih gila lagi, kita mengatasnamakan demi anak-istri-suami, lalu kita memburu uang, mengejar materi. Padahal, kita memburu mimpi kita sendiri, mengejar keserakahan kita sendiri.
Dan kita akan berhenti jadi gila jika mau merenungi hidup bahwa betapa lebih nikmatnya hidup di masa silam di dunia yang tidak mengenal uang! Dan mereka hanya mengenal cinta. Dan cintalah yang memberi me-reka semangat hidup. Cinta yang telah diajarkan Sawerigading kepada kita sebagai keturunannya! *
Makassar, Januari 2008
Biodata penulis: Asdar Muis RMS – Lelaki tambun kelahiran Pangkep, 13 Agustus 1963, putra ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Abdul Muis Ali–Siti Rachmatiah Muis Sanusi ini, dikenal sebagai esais. Tulisannya pernah aktif dimuat di harian Pedoman Rakyat dan di Harian Fajar.
Bila menulis karya sastra, suami Herlina ini kerap memakai berbagai nama samaran, antara lain Linaku Nunung Rosita. Sejak awal 1984, ia menambahkan RMS pada namanya, singkatan dari “Rachmatiah Muis Sanusi”.
Direktur Berita Radio Suara Celebes FM 90,9 Mhz dan staf pengajar Universitas Fajar Makassar ini menulis buku antara lain “Sepatu Tuhan” dan “HZB Palaguna : Jangan Mati Dalam Kemiskinan”. Ia terlibat pula dalam penulisan beberapa buku yang terbit di Jakarta dan Makassar.
Di dunia jurnalistik, ia pernah menjadi Pemred Tabloid Harian Suaka Metro Jakarta, Redpel Manado Post, Redpel Tabloid Anak Wanita “Gita” Jakarta, redaktur Harian Berita Yudha, bekerja di Harian Fajar, koresponden MBM Tempo, Kepala Biro Harian Nusa-Bali di Jakarta, Direktur Pemberitaan Harian Pedoman Rakyat, dan beberapa media lainnya di Sulawesi dan Kalimantan.
Ia dikenal sebagai seniman dan mendirikan “Komunitas Sapi Berbunyi” di Makassar. Jebolan Asdrafi (Akademi Seni Drama Indonesia) Yogyakarta dan alumnus Fisipol Unhas ini suaranya kerap terdengar di radio lewat “Kolom Udara” yang berisi kritikan sosial dan politik. Bila ditanya apa pekerjaannya, mahasiswa sosiologi Pascasarjana Program Magister Universitas Hasanuddin ini menjawab secara serius: berpikir! *
Tabloid CERDAS
No. 31, Vol IV, April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar