Kompetisi adalah alamat masih adanya kehidupan, masih ada keinginan dan kebutuhan. Kompetisi adalah bagian dari gejala kemanusiaan, bahwa semenjak adanya kelompok manusia, di dalamnya terdapat kompetisi apakah menggejala atau tersembunyi.
- Prof. Abu Hamid -
(Antropolog)
-----
Rabu, 16 September 2009
Budaya
Inovasi dan Kompetisi
(Suatu
Penelusuran Awal)
Oleh:
Prof Abu Hamid
Wujud kebudayaan harus
dipahami sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan, dan kepercayaan yang
dimiliki oleh suatu masyarakat. Fungsi dan sistem ini, memberi pedoman bagi
masyarakat dalam hal bersikap dan berperilaku, atas kontaknya dengan lingkungan
alam dan sosial di mana mereka berada.
Kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat merupakan kekuatan abstrak yang mampu memaksa dan
mengarahkan pendukungnya untuk berperilaku sesuai dengan sistem pengetahuan,
gagasan, dan kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat.
Kebudayaan sebagai
suatu sistem, dimiliki oleh anggota masyarakat melalui proses belajar, sejak ia
lahir sampai ajal menjemputnya. Kebudayaan mengatur kehidupan kita setiap saat,
sadar atau tidak mengenai hal ini, rupanya ada tekanan untuk mengikuti dan
membentuk perilaku kita sesuai apa yang telah diciptakan oleh pendahulu kita.
Banyak lagi penjelasan
tentang dimensi kebudayaan seperti terlukis dalam buku C. Kuckhohn. Pandangan
seperti ini melihat kebudayaan sebagai “warisan” yang tidak perlu diganggu,
cukup mengikuti saja apa yang sudah ada, adalah suatu realitas yang sudah
diciptakan dan sudah dilembagakan.
Apabila kebudayaan
dipandang sebagal warisan sosial dengan segala yang tampak berupa perilaku dan
benda-benda produk, kegiatan penelitian terhadapnya, tentunya idea yang sudah
terbentuk dalam kelompok etnik, seperti halnya yang diperhatikan adalah berupa
benda-benda fisik yang sudah jadi.
Masih berkisar pada
pandangan ini, dikatakan bahwa setiap kebudayaan merupakan susunan
teknik-teknik adaptasi atau strategi terhadap ekosistem dan memperoleh input
dan luar.
Strategi adaptif
tersebut lahir dari dalam masyarakat melalui lembaga yang berfungsi evaluatif,
selektif, dan dinamik mengembangkan semua aspek-aspek kebudayaan dan
memproduksi output berupa perilaku pemangku kebudayaan.
Semua itu adalah hasil
kearifan budaya atau semacam local knowledge yang menjadi sumber perkembangan
budaya secara luwes melalui peroses transformasi.
Apabila ilmuwan sosial
mengandalkan penelitian terhadap proses perubahan masyarakat dan kebudayaan,
maka yang menjadi perhatian mereka adalah perubahan bentuk, fungsi dan peranan
dari yang lama kepada yang baru, berarti pembaharuan ide-ide, pergeseran
perilaku dan perubahan wujud benda fisik yang sudah ada atau yang sedang
terjadi.
Dalam hubungan dengan
pendapat, bahwa kebudayaan menimbulkan berbagai kebutuhan dan kepentingan,
serta menyediakan cara-cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain kebutuhan
primer, lebih besar biayanya adalah kebutuhan kebudayaan, seperti kebutuhan
tentang gengsi sosial, gaya hidup dan keinginan berprestasi.
Kepentingan politik
untuk posisi tertentu, menimbulkan berbagai konflik sosial, dalam anti konflik
kepentingan, namun dalam kebudayaan itu sendini sudah tersedia resep untuk
meredam konflik, hanya anggota masyarakat belum menemukan resep tersebut.
Kebudayaan yang dilihat
dari aspek waktu, ia memiliki pancaran sejarah, yaitu aspek sejarah masa lalu,
biasa dalam bentuk baru yang sudah mengalami seleksi, berkembang secara
transformatif, akhirnya sampai pada kita.
Penemuan dan invention
baru, material dan ideologis, serta sistem kepercayaan, dipersiapkan oleh
kelornpok individu melalui kontak-kontak historis dengan individu lain atau
dicipta oleh kelompok sendiri.
Akumulasi sejarah
berbagai warisan sosial, anak manusia yang lahir dan warisan tersebut
melanjutkannya, biasanya dalam bentuk yang sudah disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dan perkembangan masyarakat.
Uraian ringkas tensebut
di atas, adalah pandangan yang melihat kebudayaan sebagai warisan yang sudah
jadi dengan fungsinya yang transformatif, dijadikan latar untuk uraian
selanjutnya dalam kesempatan ini.
Daya
Cipta
Hampir semua
unsur-unsur kehidupan ini sudah mengalami transformasi atas perubahan waktu,
terjadinya penemuan baru dan adanya difusi unsur budaya asing dan luar.
Menurut teori
transformasi, bahwa beberapa unsur budaya, gugur karena tidak diperlukan lagi
dan yang lainnya berlanjut terus dengan modifikasi tertentu.
Unsur budaya yang gugur
tersebut, adakalanya muncul kembali dengan konsep yang diperbaharui dan
interpretasi yang baru pula. Sementara unsur yang berlanjut, karena gagasan dan
nilai yang dikandungnya masih disadari pentingnya oleh sebagian anggota
masyarakat. Transformasi bisa membawa pembaharuan dan mungkin pula membawa
kemerosotan, bila daya selektivitas kurang memadai.
Transformasi tradisi,
disebut demikian sejak kehidupan manusia tergantung atau ditentukan oleh alam,
namun secara perlahan manusia mencipta dan memajukan kebudayaannya.
Pewarisan budaya secara
simbolis, secara tradisi lisan/tulisan, melalui kultus, nitus-nitus dan sistem
kepercayaan, inilah yang dipelajari dan disadari oleh generasi masyarakat
sekarang.
Pertanyaan yang muncul,
apakah masih perlu dianut ajaran teori transformasi dalam keadaan masyarakat
yang serba cepat, dengan pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi canggih
sekarang ini.
Kondisi pemerintah dan
kehidupan masyarakat telah mengalami perubahan mendasar yang tentunya
berpengaruh pada budaya bangsa. Selain perkembangan globalisasi dan modernisasi
bidang-bidang kehidupan, adalah konsekuensi pula yang berpengaruh terhadap
kebudayaan.
Sudah lama Soedjatmoko
telah memperingatkan pada kita suatu konsep “Revolusi Pengetahuan” yang harus
digunakan secara konsekuen dan kemampuan ilmu pengetahuan untuk keperluan
industrial.
Inovasi dan invensi
tidak lagi merupakan peristiwa insidentil, tetapi harus merupakan hasil
pencarian ilmiah yang direncanakan dan diatur secara sadar. Pengerahan ilmu
pengetahuan terhadap pengembangan masyarakat dan kebudayaan, seharusnya
perantaraan Penelitian dan Pengembangan yang berorientasi penemuan.
Temuan-temuan dari
hasil pengerahan ilmu pengetahuan, bukan temuan reduplikasi atau semacam
inventarisasi, melainkan sesuatu yang bisa membawa perubahan dan pembaharuan,
bila dimanfaatkan.
Kenyataan sekarang,
hampir semua instansi sudah memiliki lembaga penelitian, namun hasil penelitian
tersebut belum diolah, apalagi dipergunakan.
Revolusi pengetahuan
yang menyangkut masalah mendasar, sudah berjalan di negara-negara maju atau
negara industri. Pengaruhnya terhadap kemajuan ekonomi industri, makin maju
pesat dan makin kaya, sementara negara berkembang terlambat dan makin miskin.
Kemajuan negara maju
tersebut, membangkitkan kekuatan sosial sebagai akibat inovasi dan invensi atas
pengerahan pengetahuan melalui penelitian berencana dan mendalam, telah
mengubah kehidupan manusia dalam paruh kedua abad ke-20.
Dalam abad 21 ini,
negara maju sudah melaju dengan pembuatan barang-barang sintetis, penyaringan
air laut untuk keperluan irigasi, pengolahan bahan mentah menjadi bahan siap
pakai, dan kemajuan lainnya.
Konsep revolusi
pengetahuan, rupanya ada kemiripan dengan konsep Thomas S. Khun, menganjurkan
supaya berguru pada sejarah yang harus menjadi titik pangkal penelitian.
Dikatakan bahwa
perubahan mendalam haruslah melalui revolusi ilmiah, bahwa kemajuan ilmiah
pertama-tama bersifat revolusioner, bertentangan dengan sebelumnya, bahwa ilmu
pengetahuan maju secara komulatif.
Khun adalah filosof
yang berorientasi pada sejarah ilmu. Konsep pokok Khun ialah paradigma yang
dapat ditafsir sebagai cara pandang terhadap dunia dan praktek ilmiah konkrit.
Marilah kita maknai
konsep revolusi pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang sifatnya harus
sistematis dan objektif dalam aspek dinamis dan kreatif, yaitu kegiatan manusia
kreatif, senantiasa mengejar pengetahuan baru, selalu tergugat jiwa dan
pikirannya untuk menemukan sesuatu yang berguna, tanpa pernah puas atas semua
temuannya itu.
Semua komponen sosial,
diharapkan memiliki sikap demikian, terutama kaum intelek yang merasakan diri
alumnus Perguruan Tinggi. Tidak terbatas pada kaum intelek saja, namun pemimpin
organisasi dan tokoh masyarakat disyaratkan selalu bersikap sebagai pengejar
dan penemu konsep baru.
Apakah Pendidikan
Tinggi perlu menjadi Research University atau membuat program studi Doktor
peneliti? Semua ini merupakan alternatif, tentunya disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan, mengingat hambatan dan kerumitan perlu terlebih
dahulu disingkirkan, seperti kondisi ekonomi dan politik.
Tidak kalah pentingnya
sebagai penghambat, adalah mentalitas bangsa, dalam arti kondisi kebudayaan itu
sendiri.
Inovasi unsur-unsur
kehidupan, berarti perubahan besar yang dilakukan secara berencana dan secara
bersama diterima sukarela, maka ketika itulah budaya inovasi sudah terjelma.
Daya cipta dibangun
dengan revolusi pengetahuan melalui penelitian dan pengembangan kreativitas
terus menerus, sampai kegiatan itu dirasakan suatu kebutuhan, maka daya cipta
sudah menjadi bagian kebudayaan. Inovasi dan daya cipta terkait satu dengan lainnya
dan inter play antara keduanya yang memajukan perkembangan kebudayaan.
Kompetisi
Dalam masyarakat yang
tidak menganut ajaran individualisme, kompetisi dianggap sesuatu yang negatif,
oleh karena kemajuan dan pembaharuan, dianggap tidak perlu berkompetisi, cukup
bekerja bersama dan bergotong royong menghasilkan yang bermanfaat, itu sudah
satu kemajuan.
Maju bersama dan
menikmati hasil bersama, tanpa perlu memilih sikap kompetitif. Rupanya paham
ini menyamakan pengertian antara kompetisi dengan konflik.
Pengalaman masa lalu
ketika mulai digiatkan Pembangunan Lima Tahun pertama dan kedua, suasana
masyarakat dikendalikan sedemikian rupa dengan konsep “stabilitas sosial”,
sehingga kompetisi terpasung dan konflik terjaga tidak sampai mengganggu
stabilitas.
Kompetisi adalah alamat
masih adanya kehidupan, masih ada keinginan dan kebutuhan. Kompetisi adalah
bagian dari gejala kemanusiaan, bahwa semenjak adanya kelompok manusia, di
dalamnya terdapat kompetisi apakah menggejala atau tersembunyi.
Masyarakat Indonesia
yang majemuk ini, terdiri atas berbagai suku bangsa dengan identitas
kebudayaannya masing-masing. Setiap kebudayaan mempunyai intensitas, kuantitas,
dan kualitas kompetisi yang berbeda dan cara pengendaliannya pula yang berbeda.
Muncul pertanyaan, sejauh mana kompetisi setiap kebudayaan membawa kemajuan dan pembaharuan. Rupanya kebudayaan yang meletakkan “harmonisasi” dalam hubungan sosial dan lingkungan, kompetisi muncul sebagal akibat dari adanya asset sosial yang diperlombakan memilikinya, sehingga yang tampil dipermukaan adalah memburu pemenuhan kebutuhan dan kepentingan, biasanya pemuasan di atas benda-benda material dan posisi sosial.
Bukanlah kompetisi dalam arti persaingan pada
kemampuan ilmu dan teknologi yang didukung oleh sikap rasional, kritis, dan
analitis.
Pra-syarat sikap
kompetitif, harus menjunjung tinggi martabat manusia sebagai persona dengan
nilai-nilai demokratis, serta hak azasi seseorang, supaya dinamika hidup
berlangsung secara dialektik.
Dalam hal ini
norma-norma sosial dan nilai budaya menjadi kontrol atas berlangsungnya
kompetisi yang rasional dan sehat. Kompetisi diarahkan pada kegiatan produktif
dan etos kerja tinggi, bebas dari sifat “kecemburuan sosial” terhadap prestasi
yang dicapai oleh seseorang.
Sementara kebudayaan
yang dimiliki oleh suku bangsa, mungkin sebagian saja, bahwa pada umumnya
menempatkan “harmonisasi” lebih utama, agar keseimbangan hidup lebih
terpelihara.
Sikap kompetitifnya
tidak rasional, tetapi pendekatan simbolik dengan menyertakan perasaan. Cukup
dimengerti mempunyai kemampuan adaptasi, sedang dinamikanya terlihat pada
kemampuan asimilasi dan daya serapnya tinggi yang datang dan sekitarnya.
Uraian singkat dan
sederhana ini, dimaksudkan untuk membuka dialog budaya dalam menemukan konsep
untuk pembangunan kebudayaan nasional. Masyarakat transisi seperti halnya
Indonesia sekarang ini, antara inovasi dan kompetisi sedang inter play dan
mungkin tidak akan ketemu atau menemukan ujung yang diharapkan membawa kemajuan
yang diharapkan.
Kompetisi lebih banyak
terjadi berputar-putar pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan sesaat,
sementara inovasi berjalan lambat, karena terpengaruh oleh golakan persaingan.
Komponen sosial yang
berada pada gelora kompetitif, adalah dari kalangan pemimpin organisasi, elit
sosial, pemuka masyarakat, bahkan mereka dan kalangan bawah yang memanfaatkan
kesempatan kompetitif tersebut.
Inovasi dan kompetisi
didekati dari segi kebudayaan, oleh karena keduanya merupakan hal yang mendasar
dan gejala kemanusiaan yang kadang kala muncul sebagai gejala sosiai. Keduanya
pula dapat memacu kemajuan dan modernisasi, jika dibarengi dan didukung oleh
kondisi sosial.
Keterangan:
- Prof Dr H Abu Hamid adalah Rektor Universitas 45, Makassar
- Artikel ini dimuat pada rubrik Opini, di halaman 4, Tabloid CERDAS, edisi No. 32, Vol. IV, September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar